Halaman

Rabu, 08 Mei 2013

Sudah Ada Sejak Tahun 1922, Kini Dilanjutkan Generasi Kelima




Sudah Ada Sejak Tahun 1922, Kini Dilanjutkan Generasi Kelima
Sudah Ada Sejak Tahun 1922, Kini Dilanjutkan Generasi Kelima





sidoarjo - kesenian reog, identik dengan ponorogo dan dan penampilan dadak merak yang melambai-lambai.
tapi reog desa gisik cemandi, kecamatan sedati, sidoarjo, reognya hanya berupa penari bertopeng kayu laki-laki dan perempuan.
ketika tampil dalam kegiatan bakti sosial perayaan hari pendidikan angkatan laut (hardikal) tahun 67, akhir april lalu, reog cemandi ini tampil.
terdiri atas 10 personil, yang meeliputi enam pemain gendang, dua pemain angklung, dan dua penari bertopeng kayu berwajah laki-laki dan perempuan.
topeng laki-laki ditampilkan berwajah merah, mata bulat, hidung mancung dan berambut ijuk gondrong, dengan ikat kepala.
sementara topeng perempuan, ditampilkan berwarna putih, mata bulat lebar, hidung mancung, dan rambut ijuk bersanggul serta berhiaskan bunga.
ketika tampil, penari dengan topeng laki-laki membawa golok yang di pegangnya diberi tiga lonceng kecil.
sehingga setiap bergerak selalu berbunyi.
"topeng laki-laki dan perempuan ini berna pak seng dan bu sri," kata kardi, penjaga properti reog sekaligus pemeran penari topeng perempuan.
suara tetabuhan dari enam gendang yanag terbuat dari kayu pohon nangka dan kulit kambing, serta goyangan angklung, membuat keduanya bergerak.
gerakannya dinamis, meski tanpa pakem khusus.
susilo, koordinator reog cemandi menjelaskan, tim ini merupakan reog asli desa gisik cemandi.
"ini dibawa oleh santri lulusan pondok pesantren sidoresmo, surabaya.
namanya abdul katimin," jelas susilo ketika ditemui di rumahnya, selasa (7/5/2013).
saat itu tahun 1922, saat diponpes, abdul katimin diminta pimpinan pondok untuk mencari kayu.
yang ditemukan adalah kayu nangka.
kayu itu kemudian dipotong-potong dan diminta dalamnya dikosongkan.
kemudian ditutup dengan kulit.
kulit yang ditemukan adalah kulit kambing.
jadilah gendang.
kemudian salah satu potongan kayu terinjak dan terbelah.
malah dibelah sekalian, kemudian dibuat topeng.
selanjutnya, dengan gendang berjumlah enam itu, dan dua topeng wanita dan perempuan, ditambah dengan ikatan untuk kulit kambing sebagai penutup gendang, dipakailan rotan.
"ada makna dari pembuatan alat-alat itu, yaitu, gendang kayu sebagai yang kuat, kulit kambing sebagai penghalang musuh, yang ada di satu sisi, dan tali rotan yang artinya persatuan dan kesatuan," jelas susilo.
selama berada di pondok, properti itu dimainkan dan setiap ada warga yang memberontak pemerintah kolonial belanda, properti reog ini dimainkan, agar pemberontakan itu tidak jadi.
setelah tahun 1945, abdul katimin, pulang ke gisik cemandi.
properti itu dibawa, dan secara turun temurun dimainkan warga desa cemandi.
susilo dan kardi sendiri adalah generasi kelima.
mereka mengambil alih pertunjukan reog cemandi di tahun 1980an.
sebelumnya reog dimainkan generasi keempat atas nama munaji dankatsun beserta tim-nya.
properti ini tidak pernah berubah.
hingga saat ini masih digunakan untuk tampil.
"ini merupakan yang pertama buatan abdul katimin.
kami coba buat yang lain, gagal," jelas susilo.
akhirnya, hingga saat ini, properti dari kayu nangka ini hanya dibersihkan dan diperbaiki secara umum saja.
misalnya cat yang dibuat lebih mengkilap dan baru, atau menembel bagian yang sudah retak-retak.
untuk tampil, sudah sejak tahun 1990-an, reog cemandi ini sudah keliling berbagai tempat di sidoarjo dan beberapa kota di jatim.
untuk menanggap reog ini, biaya sewa antara rp 400.
000 hingga rp 500.
000.
bagi warga cemandi, reog ini ditanggap untuk memeriahkan acara sunatan atau perkawinan.
untuk kegiatan bersih desa dan kegiatan umum lainnya, reog cemandi juga tampil.
dalam setiap penampilan, sisi magis masih ditampilkan properti reog ini.
"harus ada sajen sebelum main.
begitu juga tiap malam jumat, di tempat penyimpanannya, diberi sajen," jelas kardi.
keduanya mengakui, dijaman sekarang ini, kegiatan seperti itu sudah jarang dipahami.
tapi bagi warga cemandi, tetap harus tetap dipatuhi, sebagai budaya.
bukan ajaran agama.
"karena kalau tidak, percaya tidak percaya, ada yang terjadi secara magis," ungkap susilo.
pamor reog cemandi juga semakin lengkap dengan penampilan mereka dalam film lokal "air mata terakhir ibu" yang belum tayang di bioskop.
tak hanya itu, mulai tahun 1990an, banyak mahasiswa kesenian yang berguru, belajar, dan mengambil reog cemandi sebagai materi penelitian.
"semoga dengan seperti ini kami bisa tetap lestari," ungkap susilo.
dalam setiap penampilannya, tim ini menggunakan kostum hitam, kaos garis merah putih ala sakera, dan ikat kepala (udeng) batik warna cokelat.
"kalau kostum kami sudah ganti-ganti.
kalau zaman dulu, sempat kostumnya adalah karung goni," tandas susilo.

Source from: surya[dot]tribunews[dot]com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.