| Tadarus Kemiskinan ala Iwan Fals |
oleh: suyanto, redaktur liputan khusus harian surya
fenomena pengemis di negeri ini mengingatkan pada lagu iwan fals tahun 1989-an atau 15 tahun silam.
judulnya potret.
mungkin maksudnya adalah potret buram pengemis.
tepatnya pengemis yang meminta belas kasihan bukan karena terancam mati kelaparan, tapi pengemis yang muncul karena mental.
tepatnya, mental yang selalu resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu khawatir pada masa depannya.
orang-orang resah.
.
.
berlomba kejar nafkah…demi anak bini…demi sesuap nasi…kuno-kuno memang.
.
.
memang-menang kuno
begitu iwan fals mengawali lagunya.
kata "resah" menjadi kunci di sini.
warna jiwa inilah yang diyakini telah menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis.
mental ini tidak bergantung pada harta, kelas, atau jabatan.
artinya miskin dan kaya sama-sama sama-sama bisa memiliki mental pengemis, jika jiwanya resah dan selalu merasa kurang.
begitupun kawula alit, pejabat elit, politisi, dan penguasa.
membahagiakan anak bini menjadi alasan paling umum untuk membenarkan tindakan mengemis.
maka masalah pun bertambah ketika anak bini yang ingin dibahagiakan itu, ternyata juga bermental pengemis plus selalu merasa kekurangan.
jadilah, mental pengemis -yang dalam bahasa pesantren di sebut- pengemis murokkab.
mental pengemis bertumpuk-tumpuk.
beda kelas tentu beda pula cara mengemisnya.
kaum miskin mengemis dengan mengiba.
sedang kaum kaya dan pengusaha mengemis dengan iming-iming sogokan.
kaum tidak terdidik mengemis dengan ngathung, sedang kaum terpelajar mengemis dengan mengajukan proposal dan membuat panggung-panggung seremoni.
kawula alit mengemis dengan terang-terangan, sedang kaum elit mengemis terselubung di balik baju dan lencana kebesaran.
mental pengemis menjadi kata kunci kedua di sini.
mental menggiring pribadi-pribadi merasa selalu terjepit dalam pilihan sulit.
kaum miskin merasa terjepit di tengah dua pilihan, mengemis atau mencuri.
sedang para perempuan merasa hanya punya pilihan, mengemis atau menjadi psk.
begitu pun kaum kaya dan pengusaha bermental pengemis, juga merasa hanya punya dua pilihan, kerja curang penuh riba atau menyuap untuk memperbesar usaha.
bagi pejabat, mental pengemis akan membawanya pada pilihan, korupsi atau melakukan pungutan liar (pungli).
penegak hukum bermental pengemis juga tidak resah karena merasa di depan mata hanya dua pilihan, menjual keadilan atau memeras pencari keadilan.
semua pilihan berujung merugikan.
bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga kerugian diri yang terjadi.
kerugian diri mulai bisa dirasakan ketika mental pengemis pelan-pelan membuat orang lupa potensi diri.
juga lupa, bahwa sebanarnya masih banyak jalan normal dan mulya yang bisa dilalui.
kalaupun tahu ada jalan normal, mental pengemis mengajak orang ogah untuk memilihnya.
sebab jalan normal butuh kerja keras, ketekunan, kesabaran, dan butuh waktu lama, baru kemudian bisa menangguk hasil.
ibarat mau menikmati buah, pakai menanam dengan menyemi bijinya.
terlalu lama.
kalah cepat dengan cara mencangkok, apalagi meminta atau memindahkan batang yang sudah berbuah dari lahan orang lain.
mental pengemis juga kerap mengesampingkan pikiran normal.
lihat saja pembagian zakat yang cuma rp 35.
000 harus diburu beribu orang.
harus antre berjam-jam, bahkan hampir seharian.
itu pun harus adu kuat desak-desakan, bahkan sampai ada yang meningal segala.
padahal, kalau berpikir normal, waktu yang digunakan antre seharian, bila dimanfaatkan kerja, hasilnya bisa lebih dari rp 35.
000.
repotnya lagi bagi pemilik mental pengemis.
sangat susah diajak diskusi, apalagi dinasehati.
nyanyian iwan fals menyitir dalam lanjutan nyanyiannya.
pergi kau…jangan nasehati aku….
pergi kau.
.
aku mau uangmu…pergi kau jangan menggurui aku…oya…pergi kau.
.
aku mau nasimu….
uang dan nasi menjadi kata kunci berikutnya.
bagi mental pengemis, dua kata itu sudah menjadi the way of life atau semacam ideologi.
soal harga diri dan moralitas, tidak perlu terlalu dimasukkan hati.
lagu potret menggambar itu dengan syairnyaa…
orang-orang resah berlomba kerja nafkah….
demi anak bini…demi sesuap nasi…soal harga diri sudah tak berarti.
.
uang di mana uang.
.
nasi di mana nasi.
.
.
nyanyian itu hanya tembang pepeling atau pengingat.
tidak ada solusi kongkrit yang ditawarkan.
lagi pula, kalau ada konsep dan solusi disana, bisa-bisa malah mirip skripsi atau disertasi.
jadinya malah hanya orang pinter yang bisa menikmati.
tentang solusi terhadap mental pengemis, ada baiknya saran guru kampung dalam kultum ramadan kita lakukan.
ia bilang, ahli psikologi punya segudang cara untuk menyembuhkan atau membentengi diri.
para pejabat dan pemimpin negeri, kalau mau serius menangani, perlu mendengar konsep dari mereka.
tentu saja ahli-ahli pembangunan lainnya tidak boleh ditinggalkan.
lalu bagi pribadi-pribadi, ada baiknya membaca, belajar dan konsultasi pada ahli psikologi.
gunanya untuk menata hati agar menjadi bisa pribadi yang mandiri.
pribadi yang kaffah (merdeka).
inilah pribadi yang tidak akan menjadi pengemis, meski dalam kondisi miskin dan susah sekalipun.
inilah pribadi yang tidak akan mau ikut berebut zakat, meski ia termasuk delapan ashnaf kaum yang berhak menerima zakat.
di akhir kultum, guru kampung itu memberikan sepotong doa, penuntun jiwa agar terbebas dari mental pengemis.
allahumma aghnina bi halalika.
wa tho’atika an maksiatika.
wa bifadlika an man siwaka.
…
maknanya kira-kira begini.
ya tuhan perkayalah aku dengan kehalalanmu.
thoatkanlah aku dari kemaksiatanmu, tempatkan aku dalam keagunganmu, dan jangan biarkan aku tenggelam pada selainmu.
.
.
tapi jangan salah memperlakukan doa.
sebab sesungguhnya, tidak ada lafal atau mantra doa yang benar-benar mujarab.
kehebatan doa bergantung pada kesungguhan dan sikap pelafal doa.
berita terkait: serbuan pengemis di bulan ramadan
perang fatwa halal-haram iringi tradisi mengemis
ini asal mula menjamurnya pengemis dari desa pragaan daya
miskin dan kaya sama-sama bisa punya mental pengemis
tangkap 40 pengemis satu desa , liponsos digeruduk ratusan orang
dulu dikenal sebagai kampung pengemis, dusun duluran kini mulai berubah
penulis: suyanto
editor: yuli
sumber: surya cetak
tweet
Source from: surabaya[dot]tribunews[dot]com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.